ILMU PADI DAN SENI PERANG SUN TZU; MENELAAH FILOSOFI HIDUP DALAM HAL POTENSI MANUSIA
Marsal Sintung
Manusia hidup karena
kemampuannya, dan kemampuan itu menjadi hidup karena kemanusiaannya. Itu yang menjadi semboyan pribadi saya meresponi pertanyaan seputar problematika humanis. Kedua hal ini dinyatakan dalam bentuk
filosofi hidup dan ekpresi ide yang dianut manusia sebagai makhluk istimewa ciptaan-Nya, dan yang menjadi
pembahasan saat ini adalah Ilmu Padi dan Seni Perang Sun Tzu; dua hal berbeda
yang mengangkat potensi manusia sebagai fokus bahasan. Mereka berperan sebagai 'penerang' dalam meresponi manifestasi modal, tetapi hasil yang diperoleh berbeda satu sama lain.
Ilmu Padi menyatakan "semakin
berisi semakin merunduk"; semakin tinggi kemampuan seseorang, ia selayaknya
semakin rendah hati sebagaimana yang ‘dilakukan’ padi saat bulirnya berisi
penuh dengan tangkainya yang terkulai menopang beratnya. Filosofi hidup ini
mengajarkan tentang bagaimana manusia merespon kemampuan akan suatu hal dan
penerapannya dalam kehidupan sosial. Analogi filosofis ini memang dapat membuat
manusia melakukan tindak kontrol akan dirinya dalam lingkungan sosial. Namun
dalam beberapa hal bila dikaji lebih lanjut, filosofi ini malah membuat makna
dan tujuannya semakin pudar.
Padi memang semakin merunduk jika berisi, tetapi ini membuat tangkai justru semakin lemah dan rentan akan kerobohan karena beberapa faktor, seperti angin. Dianalogikan dengan manusia yang bermodal menonjol, jika dia semakin merendahkan hatinya, maka di titik ini justru dia rentan akan cobaan dan godaan. Dia gampang untuk merasakan sakit hati dan putus asa disebabkan dia yang hanya tahu untuk merendahkan hatinya; menyimpan segala sesuatu, entah itu rasa bangga karena pujian atas pencapaian atau sindiran tajam dari mulut lain yang iri hati, dalam hatinya tanpa pengekspresian yang jelas. Hal ini tentu saja merugikan dirinya, karena secara psikologis, segala yang buruk yang didapatkannya yang menyangkut respon atas kemampuan atau pengetahuannya yang menonjol, akan bergejolak dan mencari jalan keluar bagaimana agar perasaan ini dapat diekspresikan sementara dia hanya tahu merendah dan merendah.
Padi memang semakin merunduk jika berisi, tetapi ini membuat tangkai justru semakin lemah dan rentan akan kerobohan karena beberapa faktor, seperti angin. Dianalogikan dengan manusia yang bermodal menonjol, jika dia semakin merendahkan hatinya, maka di titik ini justru dia rentan akan cobaan dan godaan. Dia gampang untuk merasakan sakit hati dan putus asa disebabkan dia yang hanya tahu untuk merendahkan hatinya; menyimpan segala sesuatu, entah itu rasa bangga karena pujian atas pencapaian atau sindiran tajam dari mulut lain yang iri hati, dalam hatinya tanpa pengekspresian yang jelas. Hal ini tentu saja merugikan dirinya, karena secara psikologis, segala yang buruk yang didapatkannya yang menyangkut respon atas kemampuan atau pengetahuannya yang menonjol, akan bergejolak dan mencari jalan keluar bagaimana agar perasaan ini dapat diekspresikan sementara dia hanya tahu merendah dan merendah.
Pemaknaan padi yang merunduk juga memberi kesan betapa mulianya ia dalam wujud ini sehingga dapat mengundang empati bagi pengontak. Atas dasar inilah kenapa padi yang merunduk justru melunturkan unsur metaforanya sendiri, karena sesungguhnya wujudnya telah sepadan dengan respon ‘pemanen’ yang berkontak dengannya. Hal ini tidak memberikan nilai-tukar yang lebih lagi untuk dirinya. Oleh karena itu, figur ini, jika ditelaah lagi maknanya tanpa membutuhkan tenaga-kerja yang banyak, maka akan terungkap bahwa ia memiliki keterbatasan nilai.
Semua unsur metafora dalam filosofi anutan masyarakat Asia Tenggara ini bertolak belakang dengan yang terkandung dalam Seni Perang; sebuah karya filsafat militer asal Tiongkok di abad ke-6 SM oleh seorang jenderal perang bernama Sun Tzu. Isinya memang adalah beragam strategi dan metode perang, tetapi penerapannya dalam konteks sosial masyrakat memiliki dampak bagi kehidupan manusia yang jauh melampaui batasan dari sekedar filosofi Ilmu Padi.
Perlu diketahui bahwa Seni Perang memiliki total 13 bab dengan ayat-ayat yang menguraikannya. Fokus bab yang dapat melawan nilai estetika filosofi Ilmu Padi yang telah duluan menjamur dalam kepala masyarakat terdapat pada bab pertama ayat ke-18, yang terjemahan Inggris oleh Lionel Giles di tahun 1910 berbunyi:
"All warfare is based on deception. Hence, when we are able to attack, we must seem unable; when using our forces, we must appear inactive; when we are near, we must make the enemy believe we are far away; when far away, we must make him believe we are near."
"Semua perang didasarkan pada penipuan. Oleh karena itu, saat kita berpeluang menyerang, kita harus terlihat tidak berpeluang; saat menggunakan pasukan, kita harus terlihat tidak aktif; saat kita dekat, kita buat dia yakin kita jauh; saat kita jauh, kita harus buat dia yakin kita dekat."
Penerapan taktik Sun Tzu menawarkan hal di luar konteks Ilmu Padi yang menghendaki manusia merendahkan hati atas kemampuannya. Jika Ilmu Padi membawa manusia pada pengendalian rasa bangga, maka Seni Perang justru membuat manusia meninggalkan pergumulan akan konflik akibat kemampuannya (bermegah atau berendah). Idenya adalah membuat manusia untuk menyeberang dari titik konflik atau melampauinya dan menciptakan yang baru, walaupun itu bisa jadi adalah ingkaran dari wujud dasarnya. Ayat ke-18 dari Seni Perang ini menghendaki agar manusia melakukan kebalikan dari fakta lapangan dengan tujuan melipatgandakan hasilnya.
Sun Tzu mengambil kesempatan untuk menyimpan atau menciptakan lebih banyak prediksi hasil melalui penggunaan keadaan terlenanya lawan akibat rasa menang. Jika diimplementasikan pada kehidupan manusia dalam hal potensi, maka taktik Sun Tzu ini dapat menjadi tujuan untuk membentuk manusia menjadi jauh lebih dari sekedar onggokan daging bernalar juga bernurani.
Sebagai contoh sederhana, katakanlah seorang A memiliki talenta sebagai modal yang menonjolkan dirinya. Dia mendapatkan respon positif dari sekitar. Jika memakai penerapan ide Sun Tzu, maka tanggapan A ini adalah dia akan bertingkah seolah talenta yang dimilikinya itu hanyalah suatu kebetulan belaka; hoki, dengan dasar ide bahwa di dunia ini segala sesuatu yang didapatkan ada yang baik ada pula buruk. Dia bisa saja melakukan tindakan preventif akan respon positif yang nantinya akan menjadi pemujaan dengan cara menunjukkan hal yang menurunkan kualitas dirinya yang bertujuan menciptakan keseimbangan; konsep Yin Yang sebagai ide dasar Taoisme yang dianut masyarakat Tiongkok semasa ide Sun Tzu ini dituangkan.
Namun, jika contoh di atas memakai penerapan Ilmu Padi, maka tanggapan A hanya menerima fakta apa adanya bahwa memang input yang didapatkannya adalah konsekuensi dari output yang ditampakkannya. Artinya, dia menjunjung nilai kesepadanan. Jika kesepadanan ini mengambil alih dirinya, maka seharusnya dia tidak 'merunduk' namun justru semakin menonjolkan rupanya; sebuah gejolak sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya di atas.
Pengkajian lebih lanjut membuktikan bahwa penerapan taktik Sun Tzu dalam hal potensi manusia ini memberikan arahan postif melalui kebebasan tanpa batas. Manusia dapat mengeksplorasi aspek kemanusiaannya tanpa mengeksploitasi aktor (manusia) lainnya. Kreatifitas dan beragam modal-kerja dapat diperoleh untuk mengelola nilai kemanusiaan yang lebih baik lagi. Kebebasan yang terkandung melalui penerapan ini juga memberikan kontribusi berupa pengendalian emosi, dalam hal ini rasa bangga, sebagaimana yang pada Ilmu Padi. Bedanya, penerapan taktik Sun Tzu mempermainkan esensi respon, sedangkan Ilmu Padi justru menggumulinya. Maka daripada itu, Seni Perang dapat menciptakan pribadi yang berintelek dalam hal emosi. Sebagai ujung lain dari dahan ini, intelektualitas emosi menciptakan suatu intelektualitas lain; memandaikan manusia lain melalui kepandaian suatu manusia, sehingga ini merupakan perwujudan abstrak dari pembentukan nilai kemanusiaan.
Kesimpulan yang bisa saya katakan di sini melalui perbandingan dua ide kemanusiaan di atas adalah Ilmu Padi menerapkan konsep kesepadanan, sedangkan Seni Perang keseimbangan. Mereka tidak dapat saling menjatuhkan, namun juga tidak saling melengkapi. Namun, karena ini adalah diskusi menjawab problematika humanis dalam hal respon potensi, perbandingan tersebut memenangkan konsep keseimbangan dalam Seni Perang; sebuah 'jembatan sebanding' yang menetapkan arahan manusia sebagai pemilik kemampuan memanusiakan yang lainnya.
"Jika Ilmu Padi adalah filosofi tak berkonflik namun bergumul, maka Seni Perang Sun Tzu adalah penerapan taktik berkonflik namun tak bergumul."(Agustus 2015)
No comments:
Post a Comment