Wednesday, January 18, 2017

Cerita Pendek - Di Kala Asap Mengepul

 

DI KALA ASAP MENGEPUL


Marsal Sintung (1993 – present)


Jeda istirahat sekolah adalah saat yang paling ditunggu oleh semua pelajar. Saat itu lengan jam menunjukan angka dua belas lewat sepuluh menit. Koridor ramai dengan sosok dan suara. Obrolan dan derap sepatu seolah beradu dalamnya, disusul sesekali teriakan dan tawa keras.

‘Mau ke mana, teman?’ Markus menghampiri Henry yang saat itu sedang berdiri di depan pintu kelasnya.

‘Aku tidak mau jajan hari ini...’

‘Dasar miskin!’

‘Aku juga punya uang, bodoh!’ nada Henry naik. Markus hanya tertawa saja sambil menepuk pundaknya.

‘Ada apa, kau pasti punya sesuatu. Ceritakanlah...’ Markus mencondongkan telinganya.

‘Tidak ada dan berhentilah menjadi penggosip!’

‘Itu dia masalahmu. Sok sendiri, Henry si penyendiri. Henry si apatis. Henry si ...’

‘Ya, ya. Terserahlah...’

‘Makanya cerita!’

Henry hanya menghela nafas sebagai respon sesuatu yang membingungkan dia.

‘Oh, kalau itu memang betul. Sarah memang memiliki banyak penggemar...’

‘Kau tahu dari mana cerita itu, huh?’ Henry kaget.

‘Hampir sebagian besar gadis-gadis tahu. Gelagatmu memang mudah dibaca.’

‘Apa maksudmu gelagat?’

‘Yah, kau tahu dia sangat terkesan dengan kebaikanmu di tes Perancis kemarin. Banyak yang membicarakannya...’

Henry hanya mengangkat keningnya dengan desahan kecil – sebuah kebanggaan yang tidak perlu dikomentari mulut para kaum cerdas yang pastinya akan iri dengan respon seperti ini.

‘Dia tak berhenti berterima kasih dengan bagusnya nilainya itu.’

‘Dasar pembual!’
‘Serius, teman! Bilang saja kalau kau malu dan mau...’ Markus mencolek dagu Henry kemudian tertawa terpingkal. Agak marah namun tertawa juga, Henry menepak Markus – elakannya membuat telapak Henry mengenai paha kirinya.

‘Hei, apa itu?’

‘Hati-hati, bodoh! Nanti patah...’ Markus merapikan kotak yang sempat kena telapak tadi.

‘Astaga, beraninya kau membawa sebungkusan?’

‘Siapa yang bakalan marah, huh?’ tanya Markus bercanda menantang.

‘Mulutmu bau!’

‘Itu baik untuk tubuh, teman. Kepala akan rileks, kubaca di artikel di internet.’

‘Tubuh adalah bait Allah dan kau tahu itu.’

‘Aku tahu ini sekolah Kristen, tapi ayolah...’

‘Itu dia...’ alih Henry dari perdebatan kecil. Matanya menatap ke arah segerombolan gadis yang bercakap, mencari fokus untuk satu sosok yang seperti dinantikannya selama hidupnya.

‘Mana Sarah?’ Markus juga ikut mencari pandangan Henry.

‘Pelan-pelan, dasar mulut tong!’

‘Kenapa harus ditutupi? Kau tidak percaya diri, bung!’

‘Aku hanya...’ Henry sedikit memikirkan alasan tepat untuk mengelak fakta yang memahitkan dia dan kondisinya.

‘Cerialah. Pergi dan tegor dia, pencinta!’

‘Aku tidak tahu kalau itu yang tepat...’

‘Kenapa?’

‘Pesanku semalam, seperlunya saja...’

‘Kau tahu dia orang yang hemat bicara. Tim basket putri bermulut besar dan dia bukan di dalamnya...’

‘Yang mengidolakannya pasti juga sesama pebasket...’

‘Aku tidak tahu kalau itu, yang kutahu jelas adalah dia sedang memainkan ponselnya dan kau punya kesempatan untuk menyapanya.’

‘Apa menurutmu?’

‘Tidak tahu, tapi kau bisa memilih apa yang berkesan buatnya dalam sebuah percakapan kecil.’

Henry melangkah menuju kelas di mana di depannya ada bangku yang diduduki Sarah yang sibuk dengan ponselnya. Kelihatannya dari pandangan pesimis Henry, itu adalah, ya, kekasihnya – kekasih yang bahkan sebenarnya istilah itu tidak pantas untuk tampang ketua-tuaan mereka di usia belasan. Namun dalam pesimismenya, Henry dibuat terangkat lagi dalam angannya – rambutnya, hidungnya, sosoknya. Pebasket gadis memang rata-rata mengikat satu rambutnya. Walaupun tubuhnya tidak seideal yang lain, justru di sinilah Henry menaruh kekagumannya sebagai nilai tambah – sebuah percaya diri, talenta yang disadarinya sulit untuk ditumbuhkan dalamnya.

Langkahnya sengaja diperlambat untuk mendapatkan saat yang pas untuk sapa. Tapi semakin lambat langkahnya, semakin berdeguplah dia. Pikirannya semakin dipaksakan keras berjalan untuk sebuah obrolan lembut yang mungkin, biasa saja. Kedua tangan Henry dimasukan ke saku pahanya untuk membuat kesan gaya – kebanyakan dipakai remaja dan itu bukan sebuah hal yang harus diirikan pikiran sehat. Dalam kondisi ini, dengan tiba-tiba dan tidak sepikiran Henry ponselnya jatuh setelah bersesakan dengan tangan di sakunya, dan itu persis di depan Sarah.

‘Ups...’ Henry dengan cepat mencoba membereskan baterai dan bagian belakang ponselnya yang sempat copot.

‘Begitulah, orang kaya...’ canda Sarah.

‘Ya ampun, maaf...’ Henry hanya tertawa kecil. ‘Tumben tidak ke kantin?’

‘Aku malas...’ Sarah merespon dengan nada sedikit acuh. Kekecewaan tersirat dalam ucapannya dalam tafsiran Henry.

‘Pada seseorang?’

Respon kedua Sarah adalah dengan senyuman miring sambil menatap ponselnya lagi. ‘Teman-teman basket pria...’

‘Ya, banyak membual...’

Ucapannya seakan mendukung Sarah dalam karakternya yang tidak banyak bicara. Mendapat petunjuk baru, dia yakin dia pasti tidak memiliki seseorang yang istimewa. Dibanding dengan sehamparan pembual beseragam di koridor dan beberapa titik di sudut sekolah, pilihannya adalah sesosok yang ekslusif yang hanya akan dapat ditemui satu atau dua kali sepanjang umur manusia. Henry berharap termasuk dalam kategori itu, tapi dia hanya tidak tahu harus memulai dari mana atau bagaimana – membuat dia merasa diterima dan ditolak – sebuah teka-teki psikis yang membutuhkan analisis jiwa yang dalam – lebih dari sekedar teman akrab yang dapat menuntunnya, nyata bahwa orang buta tidak dapat menuntun orang buta.

‘Nanti Bahasa Perancis lagi...’ Sarah menatap sejenak ke arah depan.

‘Iya, susah ya. Madam Lana mengajarnya cepat sekali.’

‘Tapi kau menjalaninya dengan baik, bukan? Kenapa harus takut?’

Henry terdiam. Dia bak melempar bumerang dalam perkataannya. Tanpa bermaksud untuk mendapat pujian atau komentar, dia akhirnya bungkam.

‘Itu bukan apa-apa, aku hanya menikmatinya saja...’

‘Berapa skormu di tes kemarin?’

‘Sembilan puluh dua.’

Sarah kaget, namun senang juga. Mungkin dia sadar, perasaannya itu pantas karena dia tahu dia mendapat skor yang sepadan namun tidak setinggi Henry. Paling tidak, kartu laporan penilaian tengah semesternya baik-baik saja dan tidak perlu mendengar omelan rumah.

Henry sangat menikmati percakapan kecil itu meski Sarah harus teralihkan perhatiannya dengan sang ponsel. Dia tidak ingin keindahan sesaat ini berlalu dengan buntunya langkahnya mencairkan suasana. Bisa saja dia duduk dan bercakap lagi, tapi panggilan Marcel membuyarkan fantasi indah yang sedang dirancangnya.

‘Sini dulu, kawan. Berhentilah bercinta!’

Sedikit marah dan malu, Henry masih terdiam sejenak. Sarah hanya tertawa kecil saja melihat ini. Merasa situasi yang canggung, Henry langsung beranjak menghampiri Marcel. Jaraknya hanya bersebelahan dengan kelas di mana di depannya mereka sedang duduk menikmati situasi.

‘Kau belum bayar hutangmu.’ Henry berusaha mengalihkan perasaannya.

‘Ambilah pada Christ, dia berhutang juga padaku.’

Menghindari kesan bak pemungut pajak, Henry pergi ke arah tempat duduk Christ. Di situ terlihat dia sedang dipotret menggunakan ponsel oleh teman lainnya, disusul tawa kecil dan erangan pujian. Christ memegang sesuatu ditutupi tangannya mendekati hidung dan mulutnya – seseorang sedang merokok!

‘Lagi! Lagi! Serong sedikit. Nah, seperti itu.’

‘Apa yang kalian lakukan?’

Mereka memusatkan diri dengan pose Christ. Kilatan lampu sorot kecil memancar sekali dua kali dari ponselnya.

‘Nanti diunggah di media sosial’ Christ menyudahi posenya. ‘Hei, ada apa, Henry?’

‘Marcel bilang kau berhutang padanya ya, bayarkan saja itu nanti padaku.’

Christ tidak menjawab.

‘Apa itu?’

Christ hanya memperlihatkan yang di tangannya. Itu adalah sedotan yang dipotong sepanjang rokok. Ujungnya diberi kertas yang sudah diwarnai stabilo oranye dan dilipat kecil masuk ke salah satu ujungnya – sepotong replika bara di rokok.

‘Kreatif, ya.’

‘Jangan dipakailah, cari sedotan lain. Aku mau berpose dengan itu lagi.’

Henry hanya tertawa kecil sambil kagum dengan mainan baru itu. Dia pun pergi mencari sedotan lain dan membuat replika rokok versinya.

‘Lumayan, toh hanya untuk gaya-gayaan saja.’

Dia menyobek bagian belakang buku salah seorang teman yang saat itu sedang pergi dan mewarnainya dengan stabilo merah dicampur jingga, sehingga berhasil membuat lipatan kecil ‘bara’. Dengan percaya diri, dia bertingkah layaknya seorang penikmat rokok.

‘Astaga, kalian merokok?’ Seorang teman perempuan terkejut dengan nada keras.

‘Tidak, ini hanya sedotan saja. Lihat.’

‘Keren, ya. Kau terlihat, ya, seperti pria dewasa.’ Seorang teman berujar lagi.

‘Potret dan unggah itu, kawan.’

‘Wow!’

Dengan komentar ini Henry merasa semakin percaya diri sekaligus yakin, ini bukanlah masalah besar dalam mainan yang kecil. Entah pikiran apa yang sempat terlintas, Henry memutuskan untuk memamerkannya di koridor depan kelas.

‘Wuih, keren sekali. Apa itu? Biar kucoba, teman!’ Seorang teman laki mencoba merebut replika itu dari tangan Henry.

‘Buatlah sendiri!’ Henry membelakangi tangannya.

‘Kreatif sekali. Ayolah, kulihat!’

Sedikit memaksa, sang teman mencoba merebut replika itu darinya. Mungkin di pikiran mereka yang melihatnya, itu adalah mahakarya yang pemakaiannya tidak akan memicu komentar miring. Sosok benda itu benar-benar merobek kesan tujuannya sebenarnya, sehingga dalam beberapa waktu saja dapat membuat beberapa mulut melontarkan pujian dan beberapa pasang mata menginginkannya dalam potret ponsel.

Beratnya yang sebulu membuatnya melontar dari tangan Henry dan temannya yang sempat berebutan dan mengarah dekat ke kaki Sarah. Henry kembali memungutnya tanpa harus menutupinya dengan tangannya.

‘Apa itu?’ Sarah heran, mencari tahu.

Henry tidak menjawab, namun dengan fokusnya yang kosong ini membuat temannya berhasil merebutnya darinya.

‘Hei!’

‘Aku hanya mau melihatnya saja.’ Kagum, dia mencoba mainan itu.

‘Yah, aku tidak suka pria perokok!’

Sarah mengacuhkan wajahnya ke ponselnya, kemudian mengenakan alat pendengar musiknya – respon sederhana yang dengan tajam menyayat pikiran Henry. Ya, dalam pandangan Sarah sekarang Henry adalah seorang pecandu tembakau yang lebih lagi, seorang berandalan berseragam. Dia tidak berbeda dengan yang lainnya di gang-gang komplek perumahan dan setiap sudut aman mereka bisa melakukannya.

Tubuhnya saat ini adalah bait mainan – sepotong kecil replika bernilai pakai yang sama dengan aslinya. Hadirnya sesaat benda itu dalam hidup Henry membuat sosok selamanya dalam hidup Sarah. Perasaan yang dipendamnya sudah jauh melampaui keberadaan sang gadis, namun sayang pikiran sehatnya masih jauh tertinggal di belakang – tidak bisa berlari mendahului untuk menjangkaunya dan menyatakan kesadaran pikirannya dalam indahnya buaian perasaan. Andai saja perasaannya dapat berhenti sejenak untuk menunggu nalarnya menyusulnya, Sarah pasti menjadi pilihan yang bukan prioritas dalam daftar orang yang diistimewakannya. Sebuah pelajaran baru sederhana baginya – esok adalah saat di mana perasaan dan pikirannya bisa merentangkan tangan untuk saling berpegangan, bertukar tempat kala tangan yang berpegangan itu terasa letih, dengan tidak jemu mengejar secercah cahaya kecil di depan sambil mengacuh cemoohan dan godaan memuliakan diri.

‘Itu bukan rokok...’ Henry berujar pelan. Saat itu Sarah masih mengenakan alat pendengar musik dengan masih, fokus pada ponselnya.

‘Itu hanya...’ Henry terdiam sejenak. ‘Yah, sedotan.’

***

Sepasang kaki berjalan gontai ke arah toilet. Keadaan sekitar sepi – sebuah koridor yang memiliki dua pintu yang berhadapan. Koridor itu memang jarang dikunjungi orang, mengingat bahwa sudut sekolah itu adalah gudang dan toilet untuk layanan kebersihan. Dia terlihat membuka pintu yang terbuat dari kayu bercat cokelat tua.

‘Markus!’

Yang disebutkan meresponnya dengan telunjuk tegak di bibirnya – isyarat diam.

‘Thomas, temanku. Gabunglah, ada apa?’ Markus menggelengkan kepalanya senang.

‘Dia memutuskan hubungan denganku...’ Suaranya berat.

‘Diana? Ada apa?’

‘Entah apa maunya. Dia mengungkit soal Pak Eddie, yang kemarin aku kena setrap kayu.’

‘Kalian juga bodoh, untuk apa mengasap di toilet pria lantai tiga? Lihat aku, selamat dari ancaman. Tidak seorangpun yang kepikiran untuk mampir ke sini. Aku di sini baik-baik saja...’ Markus bangga.

‘Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia menolak panggilan ponselnya. Apalagi pesan, tidak diperhatikannya’

‘Kau hanya lelah, teman. Di sini sajalah dulu.’

Yang baru masuk itu hanya bisa mengusap wajahnya, seolah tidak percaya bisa dilanda depresi. Melihat itu, Markus mengeluarkan sebungkusannya.

‘Kurasa aku akan butuh satu.’

‘Oh, kau harus. Ini barang baru, teman pamanku yang memberikannya.’

‘Huh, apa ini?’

Dia bingung harus berkomentar apa. Markus hanya menganggukan kepalanya pertanda menyilahkan. Itu adalah sebungkusan cigarillo.

(Maret 2015)



Sunday, January 8, 2017

Hoax; Terpercaya atau Memperdaya?


HOAX; TERPERCAYA ATAU MEMPERDAYA?


Marsal Sintung



Sebagai kaum masyarakat yang masih memperjuangkan budaya membaca, kita kadang masih berpotensi termakan omongan atau berita dari sumber yang tidak dapat mempertanggungjawaban kebenarannya. Mereka banyak menciptakan bahan dengan menggunakan subjektifitas yang besar dengan asumsi hasil yang kecil. Padahal, pikiran mereka belum mampu memprediksi dampak atau efek samping yang saja bisa membuat gempar hingga menyesatkan. Berita seperti inilah yang disebut hoax.

Pada dasarnya, hoax berasal dari kata hocus pada frasa hocus pocus, yang sesuai dengan definisi kamus Merrian-Webster berarti to cheat (untuk mencurangi). Frasa itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang diterapkan dalam pertunjukan sulap, setara ucapan sim salabim dan sejenisnya. Maksud penggunaan kata hoax pada pemberitaan palsu berbeda dengan pada pertunjukan sulap. Dalam pemberitaan palsu, pendengar atau penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu.

Maraknya penyebaran hoax di media massa dinilai mengkhawatirkan kaum masyarakat intelek, karena hal ini menunjukkan kurang maksimalnya peran pihak redaktur dan penyunting dalam menyaring berita dan bisa jadi karena tidak adanya pengawasan dari provider lahan sehingga menciptakan kebebasan berekspresi yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, masyarakat awam yang menanggapi bacaan sebagai sumber informasi sekunder setelah televisi dikhawatirkan dapat disesatkan, karena pola penggalian info yang masih terjebak dalam budaya tutur.

Hoax memang dapat terjadi, tetapi celakalah bagi para produsernya. Kepopuleran isu dan kredibilitas pembuat hoax-lah yang menjadi penyebab suburnya hoax. Untuk itu, pembaca Indonesia sebagai agen-agen pembawa perubahan pola pikir dan nilai-nilai lama sebaiknya lebih selektif dalam mengonsumsi berita yang nantinya dapat disebarkan. Mayoritas kepopuleran isu, kesamaan atau keselarasan referensi, serta redaksi yang memadai dapat menjadi ‘perlengkapan’ dalam upaya menghindari penalaran pembaca yang berujung pada hoax.

(Desember 2016)