Saturday, May 6, 2017

Cerita Pendek - Gadis Pemayung


GADIS PEMAYUNG


Marsal Sintung (1993 – present)


Seorang gadis kecil berdiri di depan swalayan. Gadis itu sedang memegang payung besar – kelihatan jauh lebih besar dari badannya. Gadis itu menoleh ke kanan ke kiri melihat orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, hendak mencari tangan yang melambai padanya dan panggilan untuk telinganya. Gadis itu tidak terlihat gelisah, tapi dalam badannya yang kecil nampak perkara besar merajainya. Saat itu sedang hujan gerimis di kota dan dua wanita paruh baya keluar dari swalayan tempat di mana gadis itu sedang menunggu.
 
‘Hujan, ya.’

‘Tak terasa kalau di luar sini telah sedang hujan.’

‘Hujan deras, maksudmu?’

‘Ya. Kau lihat genangan itu?’

‘Becek sekali di sini.’

‘Tak masalah kalau kakiku becek, setidaknya aku tidak kena hujan.’ Si wanita menyeka hidungnya. ‘Aku sedang flu.’

‘Maaf, sayang. Aku tidak bawa payung.’

‘Tapi aku juga berpikir kalau mau beli satu,’ kata si wanita flu. ‘Aku sudah punya banyak payung lipat di rumah.’

Mereka terdiam sejenak. Si wanita flu menatap langit yang sedang menurunkan butiran-butiran gerimis.

‘Hujan masih akan lama.’

Selagi mereka terdiam seolah gerimis itu dapat diperkirakan lima menit lagi berhenti, gadis dengan payung besar yang berjarak beberapa langkah dari mereka berteriak menawarkan jasa.

‘Mari, Bu! Mari, Kak! Payung, payung!’

Suaranya terdengar polos, bagaikan balita yang baru belajar bicara. Dari kelihatannya, dia sekitaran sembilan sepuluh tahunan. Dia tidak terlihat gelisah, dan masih nampaknya perkara besar merajainya dalam badan kecilnya.

‘Panggil dia saja,’ kata si wanita flu. ‘Asalkan dia mau memayungi kita sampai kita mendapat angkutan umum…’

‘Ide yang bagus.’ Temannya melambaikan tangannya pada gadis kecil.

‘Payung, Kak?’

‘Ayo, Dik. Cukup ‘kan, untuk kita bertiga?’

‘Bisa, Kak.’

Gadis kecil itu membuka payungnya. Benar, payung yang bercorak lambang sebuah perusahaan di tudungnya itu dapat melindungi ketiganya – mungkin sebuah payung hadiah.

‘Bisa, Dik?’

‘Pinjam payungnya. Nanti kupegangkan…’ Wanita flu memegangkan payung untuk mereka bertiga.

‘Nanti sampai kita mendapat angkutan, ya. Tidak lama.’ Temannya menyambung. Gadis itu mengangguk – mengacakkan rambutnya yang dipotong sebahu.

Mereka pun berjalan perlahan di sepanjang trotoar yang basah dengan sesekali cipratan kecil kendaraan yang berlalu di samping mereka. Mereka berusaha untuk memanfaatkan besarnya payung sebaik mungkin agar tidak kena setetes gerimis sedikit pun. Si gadis payung berjalan berhimpit-himpitan dan terlihat sedikit kurang nyaman, tapi dia menikmatinya seolah dia adalah anak atau adik dari salah satu dari wanita itu.

‘Tinggal di mana, Dik?’ Teman si wanita flu memecah suasana yang terdiam karena konsentrasi mereka pada jalanan dan cuaca yang saat itu kurang bersahabat.

‘Di belakang swalayan, Kak.’

‘Sekolahnya? Sudah kelas berapa?’

‘Sama, di belakang swalayan itu.’

‘Begitu, ya.’ Wanita flu mengangguk.

Mereka bercakap-cakap saat menemukan tempat yang pas untuk menghentikan angkutan. Itu masih gerimis. Keduanya menikmati percakapan kecil mereka bersama si gadis. Itu berakhir saat sebuah angkutan biru kecil melintas dengan pelan.

‘Itu dia punya kita.’ Wanita melambaikan tangannya menghentikan angkutan.

‘Akhirnya.’ Wanita flu menarik nafas lega. Dia menyiapkan dompet kulit cokelatnya dari tasnya. Dia menarik dua lembar lima ribuan. ‘Terima kasih ya, Dik.’

Si gadis tidak menjawab. Dia membalas ucapan rasa si wanita dengan dua kali anggukan kepala.

Mereka berpisah di angkutan yang sudah dihentikan. Itu berjalan sedikit lambat karena menyesuaikan dengan kendaraan di depan yang sedikit tertumpuk karena lampu merah. Wanita flu memandang gadis payung itu dari mobil angkutan.

‘Kasihan anak sekecil itu harus mendapat uang dengan cara begini.’

‘Jangan salah…’ Temannya menggeleng. ‘Hidup itu keras untuk siapa saja, tak pikir dia anak semacam dia atau anak muda dengan celana selututnya tadi di swalayan, semua sesuai porsi masing-masing.’

‘Ya, tapi aku tetap kasihan padanya.’

‘Aku setuju.’

‘Dalam hal apa?’

‘Kau lihat dia. Pikirmu gampang memegang payung besar itu untuk badan sekecil dia?’

‘Pendek sekali pikiranmu.’ Wanita flu tampak sedikit gusar.

‘Percayalah. Hujan berhenti, dia pasti mengambil gitar kecilnya dan mengamen entah di mana.’

Perjalanan mereka masih tersendat. Meskipun lampu sudah hijau, mobil mereka hampir tidak bisa berjalan. Sebuah sedan, dua mobil dari angkutan mereka, mogok.

‘Mereka bersaing menolong orang.’ Wanita flu melanjutkan ekpresi perasaannya. Terlihat seorang bocah lelaki menghampiri si gadis payung tadi – mungkin temannya. Tak lama kemudian, mereka berdua kejar-kejaran. Si bocah terlihat tertawa girang melihat si gadis payung mengejarnya dan meneriakinya.

‘Hoi, anjing! Kembalikan jatahku.’
 
Mereka saling mengejar, menjauh dari pandangan dua wanita dalam angkutan umum. Setiap langkah kaki mereka mencipratkan becek trotoar yang sudah menghitam. Di luar masih mendung dan hujan.

(Augustus 2015)

No comments: