Monday, March 6, 2017

Pengaruh Teknologi dalam Penerjemahan Mengikuti Adat Bahasa


PENGARUH TEKNOLOGI DALAM PENERJEMAHAN MENGIKUTI ADAT BAHASA


Marsal Sintung


Dalam sebuah forum aktif mahasiswa berbasis online di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris Minat Penerjemahan, saya pernah mendapatkan pertanyaan meskipun itu bukan di forum saya sebagai mahasiswa. Seseorang pernah bertanya: "Menurutmu apakah perkembangan teknologi memiliki pengaruh dalam adat bahasa?" Saya mencoba untuk berkontribusi juga dengan dalih bahwa saya suka pertanyaannya. Nyatanya pertanyaan ini menantang untuk menggali kepekaan kita terhadap aktivitas penerjemahan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran.

Saya sempat memberi pendahuluan, bahwa apa yang saya tangkap dari pertanyaan dari siswa tersebut merupakan sebuah penemuan saya akan semacam gagasan inti mengenai bagaimana peran teknologi mengambil bagian dalam aktivitas manusia untuk memproduksi bahasa.

Tidak perlu repot memikirkan contoh konkret yang jauh. Saya coba sajikan untuk kita satu contoh fenomena sederhana. Kita tahu bersama kita sekarang hidup di dalam era teknologi informasi yang menuntut kecepatan perolehan data dan keperluan lainnya untuk hidup yang lebih baik. Kita tahu untuk menunjang hal tersebut, salah satu yang kita perlukan adalah telepon. Seiring waktu berjalan, telepon memiliki banyak transformasi bentuk hingga apa yang kita kenal sekarang telepon selular.

Dengan berbagai inovasi dan kreasi, telepon selular pun mendapatkan berbagai tambahan fitur seperti apa yang kita tahu sekarang, kamera (telepon selular). Apa yang kita lakukan dengan kamera tersebut adalah menangkap berbagai gambar yang ada di depannya, termasuk diri kita sendiri!

Aktivitas untuk memotret diri sendiri dengan menggunakan kamera telepon selular makin lama makin menjelma menjadi sebuah perilaku yang lazim dibanding memotret diri sendiri dengan menggunakan kamera digital atau kamera profesional lainnya (bayangkan saja LOL). Seiring perilaku ini mendapatkan bagiannya dalam tingkah laku manusia, hal ini membuat manusia memberikan atribut kebahasaan dengan sebutan apa yang populer saat ini kita tahu sebagai selfie.

Mari kita tinjau kata tersebut. Konstruksi kata terdiri dari dua elemen, self=diri sebagai morfem bebas dan -ie=sufiks (imbuhan yang menegaskan kata benda). Bahkan dari dua konstruksi kata tersebut yang tidak menyeret makna picture=gambar di dalamnya, penutur bahasa menafsirkan selfie sebagai aktivitas memotret diri sendiri. Lebih detail lagi, untuk aktivitas memotret orang pertama jamak terciptalah ungkapan wefie. We=kita, self=diri, dan -ie=sufiks. Wow!

Kita kembali pada adat sebagai bagian dari budaya. Jelas ini bukanlah istilah dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran dari terjemahan Bahasa Inggris sebagai bahasa sumber. Kita sebagai masyarakat penutur bahasa sasaran ini hanya bisa menikmati inovasi (cellular phone) dan label aktivitas inovasi itu (selfie-wefie). Proses penerjemahan ini pastinya adalah proses yang termasuk dalam penerjemahan mengikuti Adat Bahasa. Kita bisa saja tidak perlu menerjemahkan ungkapan tersebut secara literal, mengingat dalam kamus Bahasa Inggris saja masih belum memuat istilah tersebut ke dalam perbendaharaan kata, dan penafsiran ungkapan itu hanyalah bercermin pada respon manusia atas tindakan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan baru atas fenomena ini sebenarnya untuk kita sebagai masyarakat yang mengkaji bahasa sebagai instrumen komunikasi adalah bagaimana kita mendapatkan padanan yang sesuai dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran, walaupun kita mengetahui sifat kedinamisan Bahasa Indonesia itu sendiri, dan seberapa kuatkah intensitas kekuatan perubahan/perkembangan teknologi untuk membuat manusia memproduksikan labelnya (bahasa). Ingat, kita bukanlah sekedar mahasiswa yang mempelajari bahasa sebagai komunikasi, tetapi juga aspek budaya yang secara keseluruhan memayungi unsur bahasa itu.

(Maret 2017)

No comments: