Saturday, May 6, 2017

Cerita Pendek - Gadis Pemayung


GADIS PEMAYUNG


Marsal Sintung (1993 – present)


Seorang gadis kecil berdiri di depan swalayan. Gadis itu sedang memegang payung besar – kelihatan jauh lebih besar dari badannya. Gadis itu menoleh ke kanan ke kiri melihat orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, hendak mencari tangan yang melambai padanya dan panggilan untuk telinganya. Gadis itu tidak terlihat gelisah, tapi dalam badannya yang kecil nampak perkara besar merajainya. Saat itu sedang hujan gerimis di kota dan dua wanita paruh baya keluar dari swalayan tempat di mana gadis itu sedang menunggu.
 
‘Hujan, ya.’

‘Tak terasa kalau di luar sini telah sedang hujan.’

‘Hujan deras, maksudmu?’

‘Ya. Kau lihat genangan itu?’

‘Becek sekali di sini.’

‘Tak masalah kalau kakiku becek, setidaknya aku tidak kena hujan.’ Si wanita menyeka hidungnya. ‘Aku sedang flu.’

‘Maaf, sayang. Aku tidak bawa payung.’

‘Tapi aku juga berpikir kalau mau beli satu,’ kata si wanita flu. ‘Aku sudah punya banyak payung lipat di rumah.’

Mereka terdiam sejenak. Si wanita flu menatap langit yang sedang menurunkan butiran-butiran gerimis.

‘Hujan masih akan lama.’

Selagi mereka terdiam seolah gerimis itu dapat diperkirakan lima menit lagi berhenti, gadis dengan payung besar yang berjarak beberapa langkah dari mereka berteriak menawarkan jasa.

‘Mari, Bu! Mari, Kak! Payung, payung!’

Suaranya terdengar polos, bagaikan balita yang baru belajar bicara. Dari kelihatannya, dia sekitaran sembilan sepuluh tahunan. Dia tidak terlihat gelisah, dan masih nampaknya perkara besar merajainya dalam badan kecilnya.

‘Panggil dia saja,’ kata si wanita flu. ‘Asalkan dia mau memayungi kita sampai kita mendapat angkutan umum…’

‘Ide yang bagus.’ Temannya melambaikan tangannya pada gadis kecil.

‘Payung, Kak?’

‘Ayo, Dik. Cukup ‘kan, untuk kita bertiga?’

‘Bisa, Kak.’

Gadis kecil itu membuka payungnya. Benar, payung yang bercorak lambang sebuah perusahaan di tudungnya itu dapat melindungi ketiganya – mungkin sebuah payung hadiah.

‘Bisa, Dik?’

‘Pinjam payungnya. Nanti kupegangkan…’ Wanita flu memegangkan payung untuk mereka bertiga.

‘Nanti sampai kita mendapat angkutan, ya. Tidak lama.’ Temannya menyambung. Gadis itu mengangguk – mengacakkan rambutnya yang dipotong sebahu.

Mereka pun berjalan perlahan di sepanjang trotoar yang basah dengan sesekali cipratan kecil kendaraan yang berlalu di samping mereka. Mereka berusaha untuk memanfaatkan besarnya payung sebaik mungkin agar tidak kena setetes gerimis sedikit pun. Si gadis payung berjalan berhimpit-himpitan dan terlihat sedikit kurang nyaman, tapi dia menikmatinya seolah dia adalah anak atau adik dari salah satu dari wanita itu.

‘Tinggal di mana, Dik?’ Teman si wanita flu memecah suasana yang terdiam karena konsentrasi mereka pada jalanan dan cuaca yang saat itu kurang bersahabat.

‘Di belakang swalayan, Kak.’

‘Sekolahnya? Sudah kelas berapa?’

‘Sama, di belakang swalayan itu.’

‘Begitu, ya.’ Wanita flu mengangguk.

Mereka bercakap-cakap saat menemukan tempat yang pas untuk menghentikan angkutan. Itu masih gerimis. Keduanya menikmati percakapan kecil mereka bersama si gadis. Itu berakhir saat sebuah angkutan biru kecil melintas dengan pelan.

‘Itu dia punya kita.’ Wanita melambaikan tangannya menghentikan angkutan.

‘Akhirnya.’ Wanita flu menarik nafas lega. Dia menyiapkan dompet kulit cokelatnya dari tasnya. Dia menarik dua lembar lima ribuan. ‘Terima kasih ya, Dik.’

Si gadis tidak menjawab. Dia membalas ucapan rasa si wanita dengan dua kali anggukan kepala.

Mereka berpisah di angkutan yang sudah dihentikan. Itu berjalan sedikit lambat karena menyesuaikan dengan kendaraan di depan yang sedikit tertumpuk karena lampu merah. Wanita flu memandang gadis payung itu dari mobil angkutan.

‘Kasihan anak sekecil itu harus mendapat uang dengan cara begini.’

‘Jangan salah…’ Temannya menggeleng. ‘Hidup itu keras untuk siapa saja, tak pikir dia anak semacam dia atau anak muda dengan celana selututnya tadi di swalayan, semua sesuai porsi masing-masing.’

‘Ya, tapi aku tetap kasihan padanya.’

‘Aku setuju.’

‘Dalam hal apa?’

‘Kau lihat dia. Pikirmu gampang memegang payung besar itu untuk badan sekecil dia?’

‘Pendek sekali pikiranmu.’ Wanita flu tampak sedikit gusar.

‘Percayalah. Hujan berhenti, dia pasti mengambil gitar kecilnya dan mengamen entah di mana.’

Perjalanan mereka masih tersendat. Meskipun lampu sudah hijau, mobil mereka hampir tidak bisa berjalan. Sebuah sedan, dua mobil dari angkutan mereka, mogok.

‘Mereka bersaing menolong orang.’ Wanita flu melanjutkan ekpresi perasaannya. Terlihat seorang bocah lelaki menghampiri si gadis payung tadi – mungkin temannya. Tak lama kemudian, mereka berdua kejar-kejaran. Si bocah terlihat tertawa girang melihat si gadis payung mengejarnya dan meneriakinya.

‘Hoi, anjing! Kembalikan jatahku.’
 
Mereka saling mengejar, menjauh dari pandangan dua wanita dalam angkutan umum. Setiap langkah kaki mereka mencipratkan becek trotoar yang sudah menghitam. Di luar masih mendung dan hujan.

(Augustus 2015)

Monday, March 6, 2017

Pengaruh Teknologi dalam Penerjemahan Mengikuti Adat Bahasa


PENGARUH TEKNOLOGI DALAM PENERJEMAHAN MENGIKUTI ADAT BAHASA


Marsal Sintung


Dalam sebuah forum aktif mahasiswa berbasis online di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris Minat Penerjemahan, saya pernah mendapatkan pertanyaan meskipun itu bukan di forum saya sebagai mahasiswa. Seseorang pernah bertanya: "Menurutmu apakah perkembangan teknologi memiliki pengaruh dalam adat bahasa?" Saya mencoba untuk berkontribusi juga dengan dalih bahwa saya suka pertanyaannya. Nyatanya pertanyaan ini menantang untuk menggali kepekaan kita terhadap aktivitas penerjemahan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran.

Saya sempat memberi pendahuluan, bahwa apa yang saya tangkap dari pertanyaan dari siswa tersebut merupakan sebuah penemuan saya akan semacam gagasan inti mengenai bagaimana peran teknologi mengambil bagian dalam aktivitas manusia untuk memproduksi bahasa.

Tidak perlu repot memikirkan contoh konkret yang jauh. Saya coba sajikan untuk kita satu contoh fenomena sederhana. Kita tahu bersama kita sekarang hidup di dalam era teknologi informasi yang menuntut kecepatan perolehan data dan keperluan lainnya untuk hidup yang lebih baik. Kita tahu untuk menunjang hal tersebut, salah satu yang kita perlukan adalah telepon. Seiring waktu berjalan, telepon memiliki banyak transformasi bentuk hingga apa yang kita kenal sekarang telepon selular.

Dengan berbagai inovasi dan kreasi, telepon selular pun mendapatkan berbagai tambahan fitur seperti apa yang kita tahu sekarang, kamera (telepon selular). Apa yang kita lakukan dengan kamera tersebut adalah menangkap berbagai gambar yang ada di depannya, termasuk diri kita sendiri!

Aktivitas untuk memotret diri sendiri dengan menggunakan kamera telepon selular makin lama makin menjelma menjadi sebuah perilaku yang lazim dibanding memotret diri sendiri dengan menggunakan kamera digital atau kamera profesional lainnya (bayangkan saja LOL). Seiring perilaku ini mendapatkan bagiannya dalam tingkah laku manusia, hal ini membuat manusia memberikan atribut kebahasaan dengan sebutan apa yang populer saat ini kita tahu sebagai selfie.

Mari kita tinjau kata tersebut. Konstruksi kata terdiri dari dua elemen, self=diri sebagai morfem bebas dan -ie=sufiks (imbuhan yang menegaskan kata benda). Bahkan dari dua konstruksi kata tersebut yang tidak menyeret makna picture=gambar di dalamnya, penutur bahasa menafsirkan selfie sebagai aktivitas memotret diri sendiri. Lebih detail lagi, untuk aktivitas memotret orang pertama jamak terciptalah ungkapan wefie. We=kita, self=diri, dan -ie=sufiks. Wow!

Kita kembali pada adat sebagai bagian dari budaya. Jelas ini bukanlah istilah dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran dari terjemahan Bahasa Inggris sebagai bahasa sumber. Kita sebagai masyarakat penutur bahasa sasaran ini hanya bisa menikmati inovasi (cellular phone) dan label aktivitas inovasi itu (selfie-wefie). Proses penerjemahan ini pastinya adalah proses yang termasuk dalam penerjemahan mengikuti Adat Bahasa. Kita bisa saja tidak perlu menerjemahkan ungkapan tersebut secara literal, mengingat dalam kamus Bahasa Inggris saja masih belum memuat istilah tersebut ke dalam perbendaharaan kata, dan penafsiran ungkapan itu hanyalah bercermin pada respon manusia atas tindakan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan baru atas fenomena ini sebenarnya untuk kita sebagai masyarakat yang mengkaji bahasa sebagai instrumen komunikasi adalah bagaimana kita mendapatkan padanan yang sesuai dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran, walaupun kita mengetahui sifat kedinamisan Bahasa Indonesia itu sendiri, dan seberapa kuatkah intensitas kekuatan perubahan/perkembangan teknologi untuk membuat manusia memproduksikan labelnya (bahasa). Ingat, kita bukanlah sekedar mahasiswa yang mempelajari bahasa sebagai komunikasi, tetapi juga aspek budaya yang secara keseluruhan memayungi unsur bahasa itu.

(Maret 2017)

Tuesday, February 28, 2017

Adat Bahasa dan Kaidah Bahasa; Sebuah Perbedaan dalam Teori Penerjemahan


ADAT BAHASA DAN KAIDAH BAHASA; SEBUAH PERBEDAAN DALAM TEORI PENERJEMAHAN


Marsal Sintung


Dalam penerjemahan, kita tidak hanya dituntut untuk mengerti Kaidah Bahasa (KB), tetapi juga Adat Bahasa (AB) sehingga diharapkan proses penerjemahan ke Bahasa Sasaran (BSa) dapat memenuhi permintaan penutur BSa dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, apa yang dimaksud dengan Kaidah Bahasa dan Adat Bahasa?

Kaidah dalam frasa Kaidah Bahasa memberikan pengertian bahwa bahasa merupakan instrumen interaksi komunikasi yang memiliki hukum. Artinya di sini adalah hukum dalam bahasa menyajikan nilai absolut (tetap) atas terbentuknya suatu atribut yang dibahasakan, yang wujudnya digunakan dalam proses penyaluran ide antar manusia melalui interaksi komunikasi. Atribut itulah yang disebut dengan kata, elemen terkecil bahasa yang memiliki arti. Karena sifatnya yang tetap inilah sebuah kata penafsirannya tidak dapat digantikan atau diwakili dengan kata lainnya. Dalam proses penerjemahan kata, jenis kata yang mengikuti Kaidah Bahasa adalah Kata Ganti, Kata Bilangan Kardinal, dan Kata Depan.

Contoh:
  1. MEREKA adalah kata ganti dari sekumpulan individu di luar pembicaraan langsung orang pertama dan orang ketiga.
  2. DUA adalah kata bilangan kardinal dari kumpulan suatu wujud yang berjumlah dua.
  3. KE dalam KE DEPAN adalah kata depan yang menunjukan aktivitas pergerakan suatu wujud.

Adat dalam frasa Adat Bahasa memberikan pengertian bahwa bahasa merupakan instrumen komunikasi yang berlindung di bawah payung sistem nilai budaya, dalam hal ini menyangkut hampir segala bentuk aktivitas dan pemikiran manusia yang membuat mereka memberikan beragam atribut dalam suatu wujud. Karena penyajian atribut (kata) dari adat bahasa ini bersifat abstrak dan arbiter (manasuka), maka lintas penafsiran kebahasaan dapat berupa tafsiran antar kata, antar frasa, bahkan antar kata-frasa. Yang termasuk dalam konten ini adalah hampir semua jenis kata (kecuali jenis kata ganti, kata bilangan kardinal, dan kata depan seperti paparan pada Kaidah Bahasa).

Contoh:
  1. Kata KURSI dapat digantikan atau ditafsirkan dengan TEMPAT DUDUK.
  2. Kata KAMAR MANDI dapat digantikan atau ditafsirkan dengan JAMBAN.
  3. AIR MINUM dapat digantikan atau ditafsirkan dengan AIR PUTIH.
  4. CANTIK dapat digantikan atau ditafsirkan dengan MENAWAN.

Kembali pada topik Penerjemahan; penerjemahan dapat dilakukan dengan melakukan transfer bahasa dimulai dari unit terkecil (kata) hingga unit yang lebih tinggi. Mari kita mengambil scope kata. Pada dasarnya, kata terbagi atas beragam jenis: kata benda, kata sifat, kata kerja, kata keterangan, kata ganti, kata bilangan (meliputi kata bilangan kardinal dan kata bilangan ordinal), dan kata tugas (meliputi kata depan, kata sandang, kata interjeksi, kata sambung, dan partikel).

Mari melihat masing-masing contoh berikut dengan penerjemahannya dan penjelasannya, entah proses interpretasi makna mengikuti Kaidah Bahasa atau Adat Bahasa:

1. Kata Benda

Box (B.Ing) dapat diinterpretasi/diterjemahkan/ditafsirkan sebagai Kotak (B.Ind), bisa juga Boks (B.Ind). Proses penafsiran mengikuti Adat Bahasa, karena bila dilihat dari penutur BSa (Bahasa Sasaran), kalangan umum masyarakat memiliki interpretasi bahwa Box pada dasarnya adalah benda berbentuk persegi (Kotak). Kalangan khusus masyarakat, masyarakat buruh misalnya, memiliki interpretasi makna bahwa Box merupakan benda yang berfungsi sebagai wadah berbentuk persegi empat untuk penampungan (Boks). Melihat ini, baik Kotak maupun Boks, keduanya menyajikan arti yang sama dan bisa saling menggantikan/mewakili (arbiter).

2. Kata Sifat

Handsome (B.Ing) dapat diinterpretasikan sebagai Ganteng (B.Ind), bisa juga Elok (B.Ind). Proses penafsiran hal ini mengikuti Adat Bahasa, karena bila dilihat dari penutur BSa, kalangan umum masyarakat memiliki interpretasi bahwa Ganteng adalah atribut ‘sedap dilihat’ pada suatu manusia, dalam hal ini pria. Kalangan khusus, seperti kaum seniman dan sastrawan, memiliki interpretasi bahwa Handsome merupakan atribut ‘sedap dilihat’ pada manusia yang hidup dalam atmosfir seni (Elok). Hal ini menunjukkan bahwa terjemahan Handsome ke Ganteng/Elok menyajikan arti yang sama dan bisa saling menggantikan/mewakili.

3. Kata Kerja

Hit (B.Ing) dapat diinterpretasikan sebagai Memukul (B.Ind), bisa juga Meninju (B.Ind). Proses penafsiran kata ini mengikuti Adat Bahasa, karena masyarakat pada umumnya tahu bahwa Hit berarti Memukul. Namun, dalam masyarakat olahraga, Hit berarti Meninju. Terbukti kedua hal ini menunjukkan bahwa baik Meninju maupun Memukul menyajikan arti yang sama yang dapat saling menggantikan/mewakili dalam penerjemahan Hit sebagai Bsu.

4. Kata Keterangan

Darker pada kalimat It is getting darker (B.Ing) dapat diartikan sebagai Hari mulai malam (B.Ind), atau bisa juga Hari mulai gelap (B.Ind). Masyarakat pada umumnya tahu bahwa jika hari mulai malam, berarti langit sudah tidak disinari matahari. Namun, pada masyarakat kerja seperti kaum petani, hari mulai gelap berarti menandakan bahwa waktu bekerja di ladang sudah selesai. Fenomena ini menunjukkan bahwa penafsiran kata Darker (BSu) menjadi Malam (Bsa) atau Gelap (Bsa) mengikuti Adat Bahasa, karena keduanya dapat saling menggantikan/mewakili tanpa harus membingungkan penutur BSa.

5. Kata Ganti

She (B.Ing) hanya memiliki penafsiran Dia (B.Ind) dalam proses penerjemahan. Artinya, tidak ada lagi unit dalam BSa yang dapat mewakili/menggantikan fungsi Dia untuk menerangkan kata She dari BSu. Perlu diperhatikan, Ia (B.Ind) dan Beliau (B.Ind) adalah merupakan sinonim (persamaan) dari kata Dia untuk menjalankan fungsi diksi, namun tetap memiliki arti yang sama yaitu acuan persona pihak ketiga. Sederhananya, entah itu kata Dia, Ia, maupun Beliau hanya menyajikan satu arti. Karena sifat ini tidak manasuka (statis), proses interpretasi She sebagai BSu hanya mampu bersandar pada aturan yang sesuai dengan hukum di mana BSa itu hidup. Itulah mengapa seluruh proses penerjemahan kata ganti mengikuti Kaidah (hukum) Bahasa.

6. Kata Bilangan

Three (B.Ing) hanya memiliki penafsiran Tiga (B.Ind) dalam proses penerjemahan. Kasus penerjemahan kata bilangan kardinal bahkan tidak mempunyai sinonim untuk menyajikan arti yang sama dan tidak menjalankan fungsi diksi bila dibanding dengan proses penerjemahan kelas kata ganti. Three sebagai Bsu memiliki arti Tiga sebagai BSa; jumlah suatu benda/wujud yang merupakan keseluruhan satu tambah satu tambah satu. Karena kata bilangan kardinal tidak memiliki sinonim dan kata lain untuk menggantikan/mewakili dirinya sendiri, proses penerjemahannya mengikuti Kaidah Bahasa (Three=Tiga).

Namun lain halnya dengan kata bilangan ordinal, contoh First (B.Ing) dapat ditafsirkan sebagai Kesatu (B.Ind) atau Pertama (B.Ind). Bila kita fokus pada penutur BSa, masyarakat pada umumnya menggunakan Pertama sebagai pilihan tafsiran/interpretasi dari First. Penggunaan Kesatu mendapatkan posisi yang sama, karena arti dari Kesatu menyajikan proses urutan yang menempati angka satu (pertama). Karena kedua kata menyajikan arti yang sama, penerjemahan kata bilangan ordinal mengikuti Adat Bahasa, karena memiliki pertimbangan jenis penutur BSa.

7. Kata Tugas

The pada frasa The Lion and The King (B.Ing) dapat diartikan sebagai Si Singa dan Sang Raja (B.Ind), bisa juga Si Singa dan Si Raja (B.Ind). Memang penggunaan kata Si untuk penerjemahan The King sebagai BSu agak kurang sedap didengar, karena penggunaan kata Sang lebih tepat digunakan pada persona ketimbang Si yang hampir semua kata bisa diikutinya. Namun demikian, baik Si maupun Sang menyajikan arti dan fungsi yang sama yaitu kata penjelas nomina dan mereka bisa saling menggantikan/mewakili. Oleh karena itu, proses penerjemahan kata sandang mengikuti Adat Bahasa, karena terdapat pertimbangan makna yang didasarkan pada budaya manusia dalam berbahasa.

Interjeksi Whoa! (B.Ing) dapat diartikan sebagai Wow! (B.Ind) atau bisa juga Wew! (B.Ind) atau bisa juga Wuih! (B.Ind) dan ungkapan interjeksi lainnya, mengingat interjeksi merupakan kata tugas yang maksudnya mengungkapkan perasaan penutur atau bisa jadi tiruan bunyi seperti Meow! (B.Ing) ke Meong! (Bahasa Indoesia) dan Whoof! (B.Ing) ke Guk! (B.Ind). Karena proses bahasa yang berlindung di bawah aktivitas budaya, maka penerjemahan interjeksi mengikuti Adat Bahasa.

After (B.Ing) dapat diartikan sebagai Setelah (B.Ind) atau bisa juga Sehabis (B.Ind) sebagai kata yang termasuk dalam kata hubung. Dalam ragamnya sebagai proses bahasa di bawah aktivitas budaya, Setelah lazim digunakan dalam ragam formal (Setelah keramas) sedangkan Sehabis biasanya digunakan dalam ragam non-formal (Sehabis keramas). Melihat fenomena ini, penerjemahan kata hubung mengikuti Adat Bahasa, meskipun beberapa di antaranya mengikuti Kaidah Bahasa dalam contoh penerjemahan And (B.Ing) ke Dan (B.Ind) dan Also (B.Ing) ke Juga (B.Ind) (Dan dan Juga tidak dapat saling menggantikan/mewakili; masing-masing tanpa sinonim dengan fungsi yang berbeda).

At (B.Ing) hanya memiliki penafsiran Di (B.Ind) dalam proses penerjemahan. Sesuai aturan Bahasa Indonesia yang baku sebagai BSa, pada frasa Di depan memiliki arti yang berbeda dengan Ke Depan ([Di depan=berada statis di posisi depan] dengan [Ke depan=menunjukkan perpindahan posisi ke arah depan]). Oleh karena itu, penerjemahan kata depan mengikuti Kaidah Bahasa untuk mendapatkan penafsiran yang sesuai dan memenuhi hukum baik BSa maupun BSu.

Perlu diketahui bahwa partikel dalam menjalankan fungsi bahasa hanya terdapat dalam bahasa tertentu. Tetapi tidak enomena ini mencerminkan bahasa dalam suatu negara merupakan wujud kebudayaan di mana adat sebagai sub-elemen kebudayaan itu hidup. Contohnya seperti Go to your mom! (B.Ing) ke Pergilah ke ibumu! dapat diterjemahkan juga sebagai Pergi ke ibumu!. Partikel lah dalam BSa merupakan bentuk penghalus dari perintah Go to your mom dalam BSu. Penggunaan partikel penghalus inilah indikator bahwa penerjemahan kalimat Go to your mom! mengikuti Adat Bahasa, di mana penghalus ini hidup dalam masyarakat penutur BSa yang bermaksud mengurangi kesan memerintah, meskipun terdapat kemungkinan bahwa penafsiran partikel ke/dari BSu/BSa dapat termasuk dalam penerjemahan yang mengikuti Adat Bahasa. Hal ini disebabkan karena sifat dasar partikel itu sendiri, bahwa dia hanya terdapat pada bahasa tertentu, seperti Bahasa Indonesia (-pun, -kah, -lah), sehingga frangan/penambahan unsur dalam proses penerjemahannya antar BSu-BSa (partikel -lah).

Bisa dilihat dari contoh-contoh di atas bahwa  cara tepat untuk mengidentifikasi proses penerjemahan bahasa mengikuti entah itu Kaidah Bahasa ataupun Adat Bahasa adalah pertama-tama mengetahui dulu jenis kata yang hendak diterjemahkan, karena kata adalah unit terkecil yang memiliki arti.

(Februari 2017)

Wednesday, January 18, 2017

Cerita Pendek - Di Kala Asap Mengepul

 

DI KALA ASAP MENGEPUL


Marsal Sintung (1993 – present)


Jeda istirahat sekolah adalah saat yang paling ditunggu oleh semua pelajar. Saat itu lengan jam menunjukan angka dua belas lewat sepuluh menit. Koridor ramai dengan sosok dan suara. Obrolan dan derap sepatu seolah beradu dalamnya, disusul sesekali teriakan dan tawa keras.

‘Mau ke mana, teman?’ Markus menghampiri Henry yang saat itu sedang berdiri di depan pintu kelasnya.

‘Aku tidak mau jajan hari ini...’

‘Dasar miskin!’

‘Aku juga punya uang, bodoh!’ nada Henry naik. Markus hanya tertawa saja sambil menepuk pundaknya.

‘Ada apa, kau pasti punya sesuatu. Ceritakanlah...’ Markus mencondongkan telinganya.

‘Tidak ada dan berhentilah menjadi penggosip!’

‘Itu dia masalahmu. Sok sendiri, Henry si penyendiri. Henry si apatis. Henry si ...’

‘Ya, ya. Terserahlah...’

‘Makanya cerita!’

Henry hanya menghela nafas sebagai respon sesuatu yang membingungkan dia.

‘Oh, kalau itu memang betul. Sarah memang memiliki banyak penggemar...’

‘Kau tahu dari mana cerita itu, huh?’ Henry kaget.

‘Hampir sebagian besar gadis-gadis tahu. Gelagatmu memang mudah dibaca.’

‘Apa maksudmu gelagat?’

‘Yah, kau tahu dia sangat terkesan dengan kebaikanmu di tes Perancis kemarin. Banyak yang membicarakannya...’

Henry hanya mengangkat keningnya dengan desahan kecil – sebuah kebanggaan yang tidak perlu dikomentari mulut para kaum cerdas yang pastinya akan iri dengan respon seperti ini.

‘Dia tak berhenti berterima kasih dengan bagusnya nilainya itu.’

‘Dasar pembual!’
‘Serius, teman! Bilang saja kalau kau malu dan mau...’ Markus mencolek dagu Henry kemudian tertawa terpingkal. Agak marah namun tertawa juga, Henry menepak Markus – elakannya membuat telapak Henry mengenai paha kirinya.

‘Hei, apa itu?’

‘Hati-hati, bodoh! Nanti patah...’ Markus merapikan kotak yang sempat kena telapak tadi.

‘Astaga, beraninya kau membawa sebungkusan?’

‘Siapa yang bakalan marah, huh?’ tanya Markus bercanda menantang.

‘Mulutmu bau!’

‘Itu baik untuk tubuh, teman. Kepala akan rileks, kubaca di artikel di internet.’

‘Tubuh adalah bait Allah dan kau tahu itu.’

‘Aku tahu ini sekolah Kristen, tapi ayolah...’

‘Itu dia...’ alih Henry dari perdebatan kecil. Matanya menatap ke arah segerombolan gadis yang bercakap, mencari fokus untuk satu sosok yang seperti dinantikannya selama hidupnya.

‘Mana Sarah?’ Markus juga ikut mencari pandangan Henry.

‘Pelan-pelan, dasar mulut tong!’

‘Kenapa harus ditutupi? Kau tidak percaya diri, bung!’

‘Aku hanya...’ Henry sedikit memikirkan alasan tepat untuk mengelak fakta yang memahitkan dia dan kondisinya.

‘Cerialah. Pergi dan tegor dia, pencinta!’

‘Aku tidak tahu kalau itu yang tepat...’

‘Kenapa?’

‘Pesanku semalam, seperlunya saja...’

‘Kau tahu dia orang yang hemat bicara. Tim basket putri bermulut besar dan dia bukan di dalamnya...’

‘Yang mengidolakannya pasti juga sesama pebasket...’

‘Aku tidak tahu kalau itu, yang kutahu jelas adalah dia sedang memainkan ponselnya dan kau punya kesempatan untuk menyapanya.’

‘Apa menurutmu?’

‘Tidak tahu, tapi kau bisa memilih apa yang berkesan buatnya dalam sebuah percakapan kecil.’

Henry melangkah menuju kelas di mana di depannya ada bangku yang diduduki Sarah yang sibuk dengan ponselnya. Kelihatannya dari pandangan pesimis Henry, itu adalah, ya, kekasihnya – kekasih yang bahkan sebenarnya istilah itu tidak pantas untuk tampang ketua-tuaan mereka di usia belasan. Namun dalam pesimismenya, Henry dibuat terangkat lagi dalam angannya – rambutnya, hidungnya, sosoknya. Pebasket gadis memang rata-rata mengikat satu rambutnya. Walaupun tubuhnya tidak seideal yang lain, justru di sinilah Henry menaruh kekagumannya sebagai nilai tambah – sebuah percaya diri, talenta yang disadarinya sulit untuk ditumbuhkan dalamnya.

Langkahnya sengaja diperlambat untuk mendapatkan saat yang pas untuk sapa. Tapi semakin lambat langkahnya, semakin berdeguplah dia. Pikirannya semakin dipaksakan keras berjalan untuk sebuah obrolan lembut yang mungkin, biasa saja. Kedua tangan Henry dimasukan ke saku pahanya untuk membuat kesan gaya – kebanyakan dipakai remaja dan itu bukan sebuah hal yang harus diirikan pikiran sehat. Dalam kondisi ini, dengan tiba-tiba dan tidak sepikiran Henry ponselnya jatuh setelah bersesakan dengan tangan di sakunya, dan itu persis di depan Sarah.

‘Ups...’ Henry dengan cepat mencoba membereskan baterai dan bagian belakang ponselnya yang sempat copot.

‘Begitulah, orang kaya...’ canda Sarah.

‘Ya ampun, maaf...’ Henry hanya tertawa kecil. ‘Tumben tidak ke kantin?’

‘Aku malas...’ Sarah merespon dengan nada sedikit acuh. Kekecewaan tersirat dalam ucapannya dalam tafsiran Henry.

‘Pada seseorang?’

Respon kedua Sarah adalah dengan senyuman miring sambil menatap ponselnya lagi. ‘Teman-teman basket pria...’

‘Ya, banyak membual...’

Ucapannya seakan mendukung Sarah dalam karakternya yang tidak banyak bicara. Mendapat petunjuk baru, dia yakin dia pasti tidak memiliki seseorang yang istimewa. Dibanding dengan sehamparan pembual beseragam di koridor dan beberapa titik di sudut sekolah, pilihannya adalah sesosok yang ekslusif yang hanya akan dapat ditemui satu atau dua kali sepanjang umur manusia. Henry berharap termasuk dalam kategori itu, tapi dia hanya tidak tahu harus memulai dari mana atau bagaimana – membuat dia merasa diterima dan ditolak – sebuah teka-teki psikis yang membutuhkan analisis jiwa yang dalam – lebih dari sekedar teman akrab yang dapat menuntunnya, nyata bahwa orang buta tidak dapat menuntun orang buta.

‘Nanti Bahasa Perancis lagi...’ Sarah menatap sejenak ke arah depan.

‘Iya, susah ya. Madam Lana mengajarnya cepat sekali.’

‘Tapi kau menjalaninya dengan baik, bukan? Kenapa harus takut?’

Henry terdiam. Dia bak melempar bumerang dalam perkataannya. Tanpa bermaksud untuk mendapat pujian atau komentar, dia akhirnya bungkam.

‘Itu bukan apa-apa, aku hanya menikmatinya saja...’

‘Berapa skormu di tes kemarin?’

‘Sembilan puluh dua.’

Sarah kaget, namun senang juga. Mungkin dia sadar, perasaannya itu pantas karena dia tahu dia mendapat skor yang sepadan namun tidak setinggi Henry. Paling tidak, kartu laporan penilaian tengah semesternya baik-baik saja dan tidak perlu mendengar omelan rumah.

Henry sangat menikmati percakapan kecil itu meski Sarah harus teralihkan perhatiannya dengan sang ponsel. Dia tidak ingin keindahan sesaat ini berlalu dengan buntunya langkahnya mencairkan suasana. Bisa saja dia duduk dan bercakap lagi, tapi panggilan Marcel membuyarkan fantasi indah yang sedang dirancangnya.

‘Sini dulu, kawan. Berhentilah bercinta!’

Sedikit marah dan malu, Henry masih terdiam sejenak. Sarah hanya tertawa kecil saja melihat ini. Merasa situasi yang canggung, Henry langsung beranjak menghampiri Marcel. Jaraknya hanya bersebelahan dengan kelas di mana di depannya mereka sedang duduk menikmati situasi.

‘Kau belum bayar hutangmu.’ Henry berusaha mengalihkan perasaannya.

‘Ambilah pada Christ, dia berhutang juga padaku.’

Menghindari kesan bak pemungut pajak, Henry pergi ke arah tempat duduk Christ. Di situ terlihat dia sedang dipotret menggunakan ponsel oleh teman lainnya, disusul tawa kecil dan erangan pujian. Christ memegang sesuatu ditutupi tangannya mendekati hidung dan mulutnya – seseorang sedang merokok!

‘Lagi! Lagi! Serong sedikit. Nah, seperti itu.’

‘Apa yang kalian lakukan?’

Mereka memusatkan diri dengan pose Christ. Kilatan lampu sorot kecil memancar sekali dua kali dari ponselnya.

‘Nanti diunggah di media sosial’ Christ menyudahi posenya. ‘Hei, ada apa, Henry?’

‘Marcel bilang kau berhutang padanya ya, bayarkan saja itu nanti padaku.’

Christ tidak menjawab.

‘Apa itu?’

Christ hanya memperlihatkan yang di tangannya. Itu adalah sedotan yang dipotong sepanjang rokok. Ujungnya diberi kertas yang sudah diwarnai stabilo oranye dan dilipat kecil masuk ke salah satu ujungnya – sepotong replika bara di rokok.

‘Kreatif, ya.’

‘Jangan dipakailah, cari sedotan lain. Aku mau berpose dengan itu lagi.’

Henry hanya tertawa kecil sambil kagum dengan mainan baru itu. Dia pun pergi mencari sedotan lain dan membuat replika rokok versinya.

‘Lumayan, toh hanya untuk gaya-gayaan saja.’

Dia menyobek bagian belakang buku salah seorang teman yang saat itu sedang pergi dan mewarnainya dengan stabilo merah dicampur jingga, sehingga berhasil membuat lipatan kecil ‘bara’. Dengan percaya diri, dia bertingkah layaknya seorang penikmat rokok.

‘Astaga, kalian merokok?’ Seorang teman perempuan terkejut dengan nada keras.

‘Tidak, ini hanya sedotan saja. Lihat.’

‘Keren, ya. Kau terlihat, ya, seperti pria dewasa.’ Seorang teman berujar lagi.

‘Potret dan unggah itu, kawan.’

‘Wow!’

Dengan komentar ini Henry merasa semakin percaya diri sekaligus yakin, ini bukanlah masalah besar dalam mainan yang kecil. Entah pikiran apa yang sempat terlintas, Henry memutuskan untuk memamerkannya di koridor depan kelas.

‘Wuih, keren sekali. Apa itu? Biar kucoba, teman!’ Seorang teman laki mencoba merebut replika itu dari tangan Henry.

‘Buatlah sendiri!’ Henry membelakangi tangannya.

‘Kreatif sekali. Ayolah, kulihat!’

Sedikit memaksa, sang teman mencoba merebut replika itu darinya. Mungkin di pikiran mereka yang melihatnya, itu adalah mahakarya yang pemakaiannya tidak akan memicu komentar miring. Sosok benda itu benar-benar merobek kesan tujuannya sebenarnya, sehingga dalam beberapa waktu saja dapat membuat beberapa mulut melontarkan pujian dan beberapa pasang mata menginginkannya dalam potret ponsel.

Beratnya yang sebulu membuatnya melontar dari tangan Henry dan temannya yang sempat berebutan dan mengarah dekat ke kaki Sarah. Henry kembali memungutnya tanpa harus menutupinya dengan tangannya.

‘Apa itu?’ Sarah heran, mencari tahu.

Henry tidak menjawab, namun dengan fokusnya yang kosong ini membuat temannya berhasil merebutnya darinya.

‘Hei!’

‘Aku hanya mau melihatnya saja.’ Kagum, dia mencoba mainan itu.

‘Yah, aku tidak suka pria perokok!’

Sarah mengacuhkan wajahnya ke ponselnya, kemudian mengenakan alat pendengar musiknya – respon sederhana yang dengan tajam menyayat pikiran Henry. Ya, dalam pandangan Sarah sekarang Henry adalah seorang pecandu tembakau yang lebih lagi, seorang berandalan berseragam. Dia tidak berbeda dengan yang lainnya di gang-gang komplek perumahan dan setiap sudut aman mereka bisa melakukannya.

Tubuhnya saat ini adalah bait mainan – sepotong kecil replika bernilai pakai yang sama dengan aslinya. Hadirnya sesaat benda itu dalam hidup Henry membuat sosok selamanya dalam hidup Sarah. Perasaan yang dipendamnya sudah jauh melampaui keberadaan sang gadis, namun sayang pikiran sehatnya masih jauh tertinggal di belakang – tidak bisa berlari mendahului untuk menjangkaunya dan menyatakan kesadaran pikirannya dalam indahnya buaian perasaan. Andai saja perasaannya dapat berhenti sejenak untuk menunggu nalarnya menyusulnya, Sarah pasti menjadi pilihan yang bukan prioritas dalam daftar orang yang diistimewakannya. Sebuah pelajaran baru sederhana baginya – esok adalah saat di mana perasaan dan pikirannya bisa merentangkan tangan untuk saling berpegangan, bertukar tempat kala tangan yang berpegangan itu terasa letih, dengan tidak jemu mengejar secercah cahaya kecil di depan sambil mengacuh cemoohan dan godaan memuliakan diri.

‘Itu bukan rokok...’ Henry berujar pelan. Saat itu Sarah masih mengenakan alat pendengar musik dengan masih, fokus pada ponselnya.

‘Itu hanya...’ Henry terdiam sejenak. ‘Yah, sedotan.’

***

Sepasang kaki berjalan gontai ke arah toilet. Keadaan sekitar sepi – sebuah koridor yang memiliki dua pintu yang berhadapan. Koridor itu memang jarang dikunjungi orang, mengingat bahwa sudut sekolah itu adalah gudang dan toilet untuk layanan kebersihan. Dia terlihat membuka pintu yang terbuat dari kayu bercat cokelat tua.

‘Markus!’

Yang disebutkan meresponnya dengan telunjuk tegak di bibirnya – isyarat diam.

‘Thomas, temanku. Gabunglah, ada apa?’ Markus menggelengkan kepalanya senang.

‘Dia memutuskan hubungan denganku...’ Suaranya berat.

‘Diana? Ada apa?’

‘Entah apa maunya. Dia mengungkit soal Pak Eddie, yang kemarin aku kena setrap kayu.’

‘Kalian juga bodoh, untuk apa mengasap di toilet pria lantai tiga? Lihat aku, selamat dari ancaman. Tidak seorangpun yang kepikiran untuk mampir ke sini. Aku di sini baik-baik saja...’ Markus bangga.

‘Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia menolak panggilan ponselnya. Apalagi pesan, tidak diperhatikannya’

‘Kau hanya lelah, teman. Di sini sajalah dulu.’

Yang baru masuk itu hanya bisa mengusap wajahnya, seolah tidak percaya bisa dilanda depresi. Melihat itu, Markus mengeluarkan sebungkusannya.

‘Kurasa aku akan butuh satu.’

‘Oh, kau harus. Ini barang baru, teman pamanku yang memberikannya.’

‘Huh, apa ini?’

Dia bingung harus berkomentar apa. Markus hanya menganggukan kepalanya pertanda menyilahkan. Itu adalah sebungkusan cigarillo.

(Maret 2015)



Sunday, January 8, 2017

Hoax; Terpercaya atau Memperdaya?


HOAX; TERPERCAYA ATAU MEMPERDAYA?


Marsal Sintung



Sebagai kaum masyarakat yang masih memperjuangkan budaya membaca, kita kadang masih berpotensi termakan omongan atau berita dari sumber yang tidak dapat mempertanggungjawaban kebenarannya. Mereka banyak menciptakan bahan dengan menggunakan subjektifitas yang besar dengan asumsi hasil yang kecil. Padahal, pikiran mereka belum mampu memprediksi dampak atau efek samping yang saja bisa membuat gempar hingga menyesatkan. Berita seperti inilah yang disebut hoax.

Pada dasarnya, hoax berasal dari kata hocus pada frasa hocus pocus, yang sesuai dengan definisi kamus Merrian-Webster berarti to cheat (untuk mencurangi). Frasa itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang diterapkan dalam pertunjukan sulap, setara ucapan sim salabim dan sejenisnya. Maksud penggunaan kata hoax pada pemberitaan palsu berbeda dengan pada pertunjukan sulap. Dalam pemberitaan palsu, pendengar atau penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu.

Maraknya penyebaran hoax di media massa dinilai mengkhawatirkan kaum masyarakat intelek, karena hal ini menunjukkan kurang maksimalnya peran pihak redaktur dan penyunting dalam menyaring berita dan bisa jadi karena tidak adanya pengawasan dari provider lahan sehingga menciptakan kebebasan berekspresi yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, masyarakat awam yang menanggapi bacaan sebagai sumber informasi sekunder setelah televisi dikhawatirkan dapat disesatkan, karena pola penggalian info yang masih terjebak dalam budaya tutur.

Hoax memang dapat terjadi, tetapi celakalah bagi para produsernya. Kepopuleran isu dan kredibilitas pembuat hoax-lah yang menjadi penyebab suburnya hoax. Untuk itu, pembaca Indonesia sebagai agen-agen pembawa perubahan pola pikir dan nilai-nilai lama sebaiknya lebih selektif dalam mengonsumsi berita yang nantinya dapat disebarkan. Mayoritas kepopuleran isu, kesamaan atau keselarasan referensi, serta redaksi yang memadai dapat menjadi ‘perlengkapan’ dalam upaya menghindari penalaran pembaca yang berujung pada hoax.

(Desember 2016)